Di Surabaya, rumah di gang Peneleh tampak riuh. Penghulu sudah hampir pasti menolak pernikahan Soekarno dan Oetari putri kesayangan Hadji Oemar Said Tjokroaminoto itu terancam dibatalkan. Pasalnya saat ijab qabul Soekarno mengenakan sepatu, jas, pentalon dan dasi — mirip pengantin laki-laki Kresten Eropa di gereja kala itu.
^^^^
Tahun 1920, Di Kauman Kota Gedhe Jogja—Beberapa aktifis muda Muhammadiyah meletakkan kartu anggota Muhammadiyah — mereka menolak keras ide Kyai Soedjak mendirikan rumah sakit di kalangan pribumi santri. Sebagian besar ulama berpandangan mendirikan rumah sakit hukumnya haram— tidak lazim dan tidak ada contoh dari para salafus saleh. Hanya Kyai Dahlan tampak mengangguk tanda setuju sementara santri lainnya menolak keras karena alasan haram.
Kyai Soedjak tak surut langkah. Ide mendirikan rumah sakit bukan saja dianggap haram atau dianggap ‘ide gila ngayawara’ tapi juga dilawan oleh teman seiring sesama kader dan santri Kyai Dahlan, dianggap haram karena menyerupai orang kafer (tasyabuh).
Bukan saja dihukumi haram, tapi juga dianggap mimpi di siang bolong— Dengan mengutip pepatah arab, hum rijal wa nahnu rijal, (mereka itu manusia, kita juga manusia) kalau mereka bisa kita juga pasti bisa, K.H. Syoedja’ mengunci pidatonya. Ketika ditertawakan dan diragukan atas ide gila itu.
Jadi kalau masih ada yang menolak vaksin dan takut pada jarum suntik tak perlu heran — ini warisan masa lalu. Semacam ortodoksi atau jumud berpikir karena kaku memegang teks.
^^^^
Sisa-sisa ortodoksi tak sepenuhnya lenyap, bahkan makin menguat di beberapa sisi meski berubah pada sisi lainnya. Sebut saja tentang hukum jasa pada bank, vaksin, isbal, konsep tentang ‘hijrah’ dan masih banyak lagi yang lainnya.
Jangan lupa, tradisi wisuda, kolokium, yudisium, erasmus mundhus hingga dies natalis adalah tradisi pagan — masih belum diterima sepenuhnya karena dianggap bukan Islam.
Jadi jangan heran bila masih ada yang menyoal tentang vaksin, jarum suntik, infus hingga kapsul yang dihukumi haram. Tahun 1920 tak satupun dokter berasal dari kaum santri kecuali dukun.
^^^*
Tapi ini bukan cela apalagi aib —semata hanya soal ortodoksi — meski terjadi banyak kekacauan logika dan nalar. Seperti halnya saudara-saudara kita di Suriname asal Trenggalek, Blitar atau kampung Jawa lainnya yang tetap shalat menghadap ‘ke barat’ meski ka’bah telah berada pada arah sebaliknya— jadi senyumin saja 😄😄🙏
@nurbaniyusuf
Komunitas Padhang Makhsyar