Motivasi Unik Menulis ala Pemred PWMU.CO

PWMU.CO – Berbagai pertanyaan kritis muncul dari para peserta Pelatihan Jurnalistik Softnews: Menulis Fakta Rasa Sastra yang diselenggarakan Tim Sinergi Jurnalistik Mugeb School, Kamis (11/2/2021).

Salah satunya datang dari Yanita Intan Sariani SPd, Koordinator Bidang Pengendalian Sistem Manajemen dan Penjaminan Mutu (PSMPM) SMA Muhammadiyah 10 GKB Gresik (Smamio) Gresik.

“Bagaimana cara agar tulisan opini kita bisa dimuat di media?” tanyanya di kolom obrolan Zoom Clouds Meeting, aplikasi telekonferensi dalam kegiatan daring yang diikuti 80-an peserta, para guru Sekolah Muhammadiyah GKB.

Dengan sigap, Pemimpin Redaksi PWMU.CO Mohammad Nurfatoni yang menjadi pemateri tunggal dalam acara itu menyarankan agar penulis mencari tahu karakter media yang ingin dituju. Tentunya dengan membaca terlebih dahulu tulisan-tulisan yang dimuat media tersebut.

“Untuk tahu apa karakter media itu ya kita baca,” ujarnya memberi tips.

Kemudian ia memberi contoh ide tulisan opini yang disesuaikan dengan karakter sebuah media mainstream. “Misal (ingin menulis di media) KompasKompas itu antiradikal, antikekerasan. Maka kalau menulis tentang melawan radikalisme, misalnya, itu bisa!” terangnya.

Fatoni—sapaan akrabnya—lalu mengungkapkan karakter media yang saat ini dia pimpin. Menurutnya, PWMU.CO itu moderat. Dengan bercanda dia mengartikan moderat sebagai yang di tengah.

Kadang memuat tulisan yang isinya tetang kelompok yang dituduh ‘radikal’. Kadang mengakomodasi tulisan ‘liberal’. “Kita mewadahi semuanya,” ucapnya sambil ketawa. Kadang ‘mengkritik’ pemerintah, kadang ‘memujinya’.

 

Viral Bukan Segalanya

Pria separuh baya yang masih tampak muda ini membeberkan sisi lain atau daya tarik sebuah tulisan yang dimuat media. Ternyata, tidak berdasarkan keviralannya saja!

Fatoni kemudian membagikan sebuah cerita yang menakjubkan. “Kadang ada tulisan di PWMU.CO yang tidak viral, hanya 100-200 (viewer-nya). Tapi orang kirim tanggapan,” ujarnya, kemudian menegaskan, “Jadi jangan terpesona dengan viral atau tidak!”

Yang lebih penting menurutnya adalah ketika tulisan di media bisa menginspirasi pembaca. “Ada satu orang yang terinspirasi itu sudah luar biasa!” ujarnya memberi motivasi unik menulis.

Dia menjelaskan, beberapa kali berita PWMU.CO menggerakkan pembaca. Misalnya ketika ada berita orang miskin yang sakit parah. Biasanya pembaca mersepon dengan memberikan bantuan dana.

Agar tidak terjebak pada viral atau tidak tulisan yang dimuat di media, ia menyarankan agar penulis—atau kontributor, sebutan akrab jurnalis di PWMU.CO—fokus pada manfaat tulisan. “Percayalah apa yang kita tulis akan bermanfaat. Tidak hanya bagi diri sendiri, tapi juga bagi lingkungan,” ujarnya memotivasi.

Selain itu, yang tidak kalah penting menurut Fatoni adalah penulis haus benar-benar memahami dan merasakan apa yang sedang ditulisnya.

“Banyak tulisan hanya susunan kata-kata, merangkai kata-kata. Mengutip kata-kata bijak filsuf, tapi dia sendiri nggak merasakan,” terangnya.

Menurutnya, tulisan seperti itu akan terasa hambar ketika dibaca. Berbeda dengan tulisan yang ditulis dengan menggunakan perasaan, di mana dampak yang diberikan lebih inspiratif.

“Dengan menulis dari hati, akan lebih melekat di hati, menginspirasi, dan menggerakkan!” ujar Fatoni yang pagi itu mengenakan batik bernuansa biru-coklat dengan topi laken warna coklat senada.

Siapapun Bisa Menulis dan Menerbitkan Tulisan

Karena tidak semua peserta merupakan kontributor, Fatoni menginformasikan bahwa PWMU.CO membuka kesempatan kepada semua orang untuk menjadi kontributor, dengan syarat tulisannya layak ditayangkan.

“Semua orang bisa menulis di PWMU.CO selama tulisannya layak dimuat,” ujarnya. Tapi jika tidak layak pun akan diedit para editor sehingga layak muat. Yang terpenting adalah mencoba dan mencoba. Dan itu, soal tulis-menulis, tak memerlukan background pendidikan jurnalistik.

 

Ia menceritakan dirinya sendiri sebagai bukti. Lulusan IKIP Surabaya ini mengaku bisa menulis meski dari Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA. Bahkan saat ini ia mampu mengajari cara menulis.

“Lucu dari Jurusan Biologi kok ngajari soal menulis,” guraunya sambil tertawa. “Itu kan karena kita harus keluar dari sesuatu yang di luar kebiasaan,” ungkapnya.

Kepada para peserta pelatihan jurnalistik yang sebagian besar kompak memakai latar belakang virtual berwarna mencolok orenge, Fatoni menyampaikan bahwa sekarang lebih mudah menerbitkan tulisan.

Penulis bisa menerbitkan tulisannya sendiri, mengingat banyak media sosial yang secara bisa ‘menerima’ tulisan penulis. “Kalau nggak dimuat (oleh media mainstream), ngapain susah-susah? Ada blog, WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter,” urainya.

Berbeda dengan zaman sebelum media sosial bermunculan, penulis perlu meminang ke beberapa media hingga tulisannya dimuat. “Kalau dulu kan nggak dimuat Jawa Pos, kirim ke Surabaya Post atau sebaliknya,” ungkapnya.

Lantas Fatoni memotivasi peserta untuk menulis sambil menyelipkan lelucon. “Paling tidak, ditulis di catatan harian, nanti dibaca anak cucu. Lho, saya nemu wasiat-wasiat ibu! Ternyata bagus. Ini harus diterbitkan!” candanya memberi motivasi unik menulis.

 

Membaca KBBI Daring dan Tesaurus

Direktur Penerbit Kanzun Book itu juga menekankan pentingnya membaca. Kebiasaan membaca menurutnya tidak dibentuk secara instan “Membaca itu membentuk kita dan saya kira nggak instan,” ujarnya.

Lantas ia menceritakan pengalaman membaca yang telah membentuknya menjadi penulis. “Saya membaca maalah Tempo sejak SD, padahal tempat saya di desa,” tutur pria kelahiran Lamongan 22 Januari 1969 ini.

Ia bisa membaca Tempo karena orangtuanya pendiri Balai Pengobatan Muhammadiyah. Ada salah satu mantri (perawat) di sana yang langganan Tempo sehingga ayahnya bisa meminjamnya. Ia juga menceritakan ketika ayahnya pulang dari bepergian selalu membeli koran Merdeka dan Surabaya Post. “Lha itu dibaca!”

Membaca, ungkapnya, dapat membentuk pikiran bawah sadar sekaligus memetakan informasi yang kita temui. “Oh, saya pernah baca ini ya, saya jadikan referensi,” ulasnya.

Tulisan bisa memuat banyak referensi jika penulis telah banyak membaca. “Kalau kita nggak pernah baca, tulisan kita nggak ada referensinya,” ujarnya.

Mar’atus Sholichah—sang moderator—menimpali pentingnya membaca untuk menambah kosa-kata baru. Pendapat Mar’ah, sapaan Koordinator Bidang Olahraga, Seni, dan Teknologi SD Muhammadiyah 1 GKB (SD Mugeb) Gresik, itu kemudian disetujui oleh Fatoni.

Berdasarkan pengalamannya, banyak kata yang baru ia ketahui setelah membaca. “Coba baca Tempo, banyak (kata) yang baru dan saya nggak tahu, setelah baca saya baru tahu,” tuturnya.

Untuk memperkaya pengetahuan penulis tentang sinonim kata, Fatoni mengenalkan beberapa website kepada para peserta. “Sekarang dimudahkan dengan KBBI Daring dan Tesaurus Indonesia, nanti kita akan kaya dengan sinonim,” terangnya.

Sebagai editor, Fatoni berterus-terang dirinya menggunakan kamus daring untuk membantu pekerjaannya. “Saya tiap hari mengedit masih cek kamus untuk memastikan bahasanya bener apa nggak,” ungkap dia.

Tidak hanya mendengar pemaparan dari Fatoni, para peserta juga diajak praktik langsung untuk mencari sinonim melalui tesaurus.kemdikbud.go.id. “Nanti akan kita temukan kata-kata yang baru, asing, belum familier di telinga kita!” ajaknya. 

Mar’ah pun mencoba mengetik kata ‘cemberut’ di kolom pencarian. Beberapa detik kemudian segera tampak beberapa kata, di antaranya terdapat kata ‘kecut’ dan ‘masam’ di layar.

“Ini kalau mendeskripsikan mukanya kecut, masam. Banyak kata yang bisa digunakan sehingga tulisan kita bermakna,” komentar Fatoni. 

Dari sana terbukti ada alternatif kata baru untuk mendeksripsikan muka cemberut, sehingga tidak bosan dalam menggunakan kata tersebut. “Enak kan? Biar kita nggak bosan nulis mukanya cemberut. Ganti masam kadang-kadang!”

 

Selain itu, dengan menggunakan perangkat daring tersebut, penulis juga bisa memilih kata yang tepat untuk digunakan. “Kenapa kok kita memilih ‘ungkapnya’, tidak ‘katanya’,” jelasnya. 

Karena itu, menurut Fatoni, agar menjadi seorang kontributor yang baik perlu banyak membaca. “Harus banyak membaca, melihat, mendengar itu wajib!” pesannya. Menurut dia, penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Begitu pula sebaiknya: pembaca yang baik harusnya menjadi penulis yang baik.

Fatoni menegaskan bahwa menulis bisa menjadi salah satu ekspresi untuk menyampaikan apa yang telah dibaca. “Kalau membaca saja nanti ilmunya banyak (tapi) nggak ada ekekspresinya,” ujarnya.

Ditengah penjelasan materinya, ia sesekali memantau grup WhatsApp khusus peserta pelatihan dan panitia. Fatoni mencari tahu apakah sudah ada yang mengumpulkan tugas menulis softnews yang ia berikan.

 

Tulisan yang Dimuat PWMU.CO

Dalam pelatihan ini, Fatoni juga membeberkan ragam jenis tulisan yang dimuat media PWMU.CO. “Tidak hanya berita, opini juga ditampung,” terangnya.

Menariknya lagi, PWMU.CO tidak hanya menampung tulisan opini penulis top. “Kalau nggak punya blog, titipkan tulisan di PWMU,” ajaknya.

Menurut dia, menulis profil adalah pilihan yang termudah. “Paling mudah karena tidak perlu terjun langsung, sebagai promosi sekaligus memberi gambaran kepada orang lain,” jelasnya. Hanya saja ia menekankan bahwa yang ditulis harus berupa fakta, bukan imajinasi.

Lantas ia memberi contoh cara menulis profil sekolah di masa penadmei Covid-19: “Misal gerbang ditutup karena Covid-19, lalu ada petugas yang membuka, mengantar ke tempat cuci tangan, dipantau suhunya, dan seterusnya.”

Berkiblat pada majalah Tempo yang mengembangkan jurnalisme sastra, media ini juga memuat tulisan yang softnews yang menggerakkan. “Berita tapi ditulis seperti cerpen, pendeskripsiannya faktual, tidak berbunga-bunga. Mendetail secara rinci suasananya,” terangnya.

Fatoni juga mengungkap ‘rumus’ mudah saat menulis di PWMU.CO. “Rumusnya kalau nulis di PWMU.CO itu gampang. Ada ‘mantra’ nulis di PWMU,CO sebenarnya,” ujarnya sambil tertawa, sementara sebagian peserta tampak penasaran.

“Tulis satu kata: PWMU.CO,” ungkapnya. “Kalau saya nggak nulis PWMU.CO, nggak berlanjut jadi berita atau opini,” kelakarnya memotivasi.

Tak berhenti di situ, ia mengungkap semangat menulis PWMU, “Menulis, agar tidak tenggelam di dasar Google!” ucapnya sambil tersenyum lebar. Maksudnya dengan mengisi konten lewat web, akan memudahkan orang menemukan tulisan kita di internet melalui mesin pencarian seperti Google. Kalau tidak menulis, akan tenggelam di dasar Google. Sulit dicari.

Salah satu contoh foto Mohammad Nurfatoni yang ditampilkan dalam pelatihan jurnalistik. Foto tersebut ada dalam berita Mesin Jahit Bu Fatmawati Ada di Bengkulu.

 

Sajian Foto dalam Berita

Tidak mau kalah, sang moderator acara yang juga kontributor PWMU.CO ikut mengajukan pertanyaan. Mar’ah menanyakan bagaimana foto yang baik untuk berita softnews.

Fatoni menerangkan ada perbedaan kriteria foto untuk berita saat pandemi dan di luar pandemi. “Untuk foto di luar pandemi, profil harus diambil foto yang Zoom, detail!”

Bahkan dalam dunia jurnalistik profesional,  biasanya melibatkan dua wartawan, yaitu wartawan yang betugas menulis dan memotret. “Wartawan foto memakai (kamera) DSLR biar detilnya terlihat,” tuturnya.

Dia menjelaskan, foto ini diperlukan untuk mendukung berita yang ditulis. “Mendukung untuk membuktikan kita nggak bohong,” kata dia.

Hanya saja, karena kegiatan saat pandemi dilakukan secara daring, maka pilihan tampilan fotonya terbatas berupa tangkapan layar pertemuan daring. “Tidak ada pilihan lain,” ujarnya pasrah. 

Seperti yang pernah ia ungkap pada pelatihan sebelumnya di Mugeb School, ia kembali menegaskan pentingnya mencantumkan foto dalam berita. “Foto penting, kadang mewakili seribu kata. Nggak perlu bercerita, cukup lihat foto (pembaca sudah paham),” terang dia.

Belum puas dengan jawaban Fatoni, Mar’ah kembali menanyakan batasan jumlah foto yang disertakan dalam sebuah berita.

“Yang terpenting proporsi antara naskah sama foto,” jawabnya lugas, kemudian ia mencontohkan proporsi yang kurang tepat, “Kalau naskahnya cuma 300 (kata) mau dimuat foto tiga kan nggak lucu. (Sedangkan) kalau nggak ada foto capek juga membaca teks panjang.

 

Tiga Poin Membidik Inti Berita

Tidak hanya peserta, Ketua Sinergi Jurnalistik dan Literasi Mugeb School Ichwan Arif SS MHum juga ikut bertanya. Ia menanyakan bagaimana cara penulis atau kontributor agar mampu mendalami berita dan mencari hal paling penting untuk dijadikan sebagai inti berita.

“Karena saat menulis hardnews biasanya terpaku menceritakan alurnya, tapi belum memiliki kemampuan menangkap apa keunikan yang menjadi poin inti dalam berita itu,” ujarnya.

Kemudian Fatoni memaparkan poin utama dalam mendalami berita adalah nara sumber. “Sebenarnya itu tergantung nara sumber,” jawabnya.

Maka ia berpesan kepada nara sumber untuk menyampaikan sesuatu yang baru, yang menarik, yang bisa dikutip! Jika tidak ada yang menarik, maka wartawan atau kontributor yang harus menggali. “Pak mau konfirmasi,” dia mencontohkan.

Ia juga membeberkan bahwa informasi yang disampaikan melalui pers release biasanya kurang menarik. Untuk mendalami berita dan menemukan poin menarik, kontributor perlu fokus pada poin yang kedua, yaitu kemampuan menggali nara sumber di sesi tanya jawab.

“Yang justru muncul itu di forum tanya jawab kalau di media mainstream, karena wartawan bisa tanya dan mendapat jawaban, itulah yang menarik,” urainya.

Dia menyampaikan, wartawan kadang mengabaikan ceramah nara sumber. “Itu nggak dimuat,” terangnya sambil memberikan klarifikasi bahwa media PWMU.CO berbeda, “Tapi kalau di PWMU.CO tetap dimuat, karena itu narasi yang perlu disosialisasikan. Meskipun ada juga yang harus kita tanyakan,” jelasnya.

Menariknya, dari situ akan terlihat, mana nara sumber yang mengulang materi ceramahnya. “Jika materi tersebut sudah pernah dimuat di suatu berita, kemudian berita lain ada yang mau menayangkannya, bisa ketahuan, ‘Lho ini kan yang sudah dimuat di berita kemarin’. Inilah ancaman dari dunia peliputan di internet!” terangnya.

Poin penting ketiga, yang juga perlu diperhatikan menurut Fatoni adalah kemampuan ‘membaca’. “Bukan secara tekstual, namun membaca apa di balik yang menarik,” tuturnya.

“Pertanyaan wartawan juga berpengaruh,” ujarnya. Ia kemudian menjelaskan pengalamannya ketika mewawancarai Din Syamsuddin saat wafatnya KH Hasyim Muzadi.

Dari wawancara itu, dia berhasil mengungkap banyak sisi unik hubungan Din Syamsuddin dengan KH Hasyim Muzadi yang dia tulis jadi beberapa berita.

Alhasil, dengan pertanyaan yang tepat, banyak informasi yang dapat digali. “Bisa dijadikan tiga atau empat berita dari wawancara 30 menit, atau kalau mau jadi tulisan panjang ya dibuat sub-sub,” ungkapnya. 

Seorang kontributor juga wajib memahami apa yang ditulisnya hingga hal-hal yang detil. “Harus tahu detail,  observasi langsung!” 

Kemudian ia menceritakan pengalamannya ketika meliput Rumah Pengasingan Bung Karno di Bengkulu. Dia harus datang ke lokasi dan detail melihat setiap ruangan agar bisa mendeskrisikan dengan detail. Bahkan id amengaku harus mengukur besar ruangan.

Tidak berhenti pada pembahasan itu, Fatoni juga menceritakan tulisan mendalam yang menjadi algoritme terbatu Google. Misal di salah satu media mainstream yang menyajikan tulisan mendalam dan menghibur kini menjad trend

Ia juga memastikan bahwa peserta yang hadir memahami bentuk trend tersebut. Lantas ia menjelaskan tulisan mendalam tidak sekadar tentang peristiwa yang sedang terjadi, tetapi juga menulis tentang kasus-kasus serupa yang pernah terjadi.

“Misal saat pesawat Sriwijaya jatuh, tulisan yang mendalam akan menulis kasus-kasus di indonesia (terkait) jatuhnya pesawat.” Menurutnya tulisan seperti inilah yang kini dijadikan kiblat penulisan berita. (*)

 

sumber : https://pwmu.co/179558/02/22/motivasi-unik-menulis-ala-pemred-pwmu-co/