Ada Cinta Hajar di Balik Ibadah Kurban (1)

Oleh Anwar Hudijono

 

Dan sungguh sulit dinalar, bagaimana seorang anak tidak takut sama sekali ketika hendak disembelih. Meski oleh ayahnya sendiri.  Malah meminta ayahnya tidak ragu-ragu untuk melakukan.

 

Bisa jadi yang kita bayangkan, anak itu akan menangis histeris. Lari lintang pukang. Bisa-bisa malah menganggap ayahnya sudah kerasukan setan atau miring.

 

Anak  itu adalah Ismail. Leluhur Nabi Muhammad SAW. Sikap Ismail itu diabadikan di dalam Quran surah As Shaffat 102.

 

“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah engkau mendapatiku termasuk orang yang sabar.”

 

Ismail sangat sadar bahwa perintah Allah itu ujian. Mati adalah salah satu bentuk ujian. Ujian harus disikapi  dengan ihlas dan sabar. Ismail sama sekali tidak ada rasa ragu, takut sebesar biji wijen sekalipun. Semua itu karena cintanya kepada Allah. Dan cinta itu butuh pengorbanan.

Bagaimana anak seusia itu sudah memiliki samudera cinta kepada Allah? Tak pelak lagi semua itu karena ibunya, Hajar yang menyemaikan benih cinta itu.  Membiakkannya. Ya, Hajar-lah orangnya. Dan Hajar-lah Sang Cinta itu sendiri.

 

Karena harus menjadi simbol cinta, maka Hajar tidak divisualisasikan dalam “drama” ibadah kurban.

 

Ceruk padang gurun

 

Hajar adalah simbol pemilik cinta yang kaffah (total) kepada Allah.  Hanya karena cintanya kepada Allah sehingga dia rela ketika suaminya, Ibrahim meninggalkannya di ceruk padang gurun yang panas dan gersang. Dikelilingi bukit-bukit batu karang yang keras dan garang. Sendirian bersama bayinya, Ismail yang masih digendong.

 

Padahal bisa saja dia menolak. Ibrahim sebagai suami yang arif bijaksana tidak mungkin memaksanya. Menganiaya dia. Berbuat semena-mena. Ibrahim adalah termasuk golongan orang-orang yang saleh.

 

Karena cintanya Hajar kepada  Allah, Ibrahim tidak ragu-ragu meninggal istrinya itu. Hajar akan berada di dekat kekasih sejati dan abadi yaitu Allah. Yang selalu menjaganya. Mengasihinya. Dan Dia sangat dekat.

 

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”. (Quran: Qaf 16).

 

Ketika Ismail kehausan, sementara air tidak ada. Hajar meletakkan Ismail di samping Baitullah. Dipasrahkan kepada Allah agar mendapatkan cinta-Nya, sekaligus menyemaikan cinta kepada Allah. Dia tidak menggendong Ismail mencari air menjelajahi kawasan antara Bukit Shafa dan Marwah.

 

Dan Allah pun memeliharanya.  Merengkuhnya dengan penuh kasih. Praktis Hajar membesarkan Ismail sepenuhnya  dalam bingkai cintanya kepada Allah. Dan pasti Allah besar balasan cinta-Nya.

 

Ibrahim mencintai Allah.

Maka rela menyerahkan Hajar dan anaknya kepada Allah.

Bukan kejam dan tak berperikemanusiaan.

Hajar mencintai Allah.

Maka rela ditinggal bersama anaknya oleh Ibrahim.

Bukan terpaksa dan tak berdaya.

Hajar mencintai Allah

Maka rela memasrahkan bayi Ismail kepada Allah

Allah mencintai mereka

Maka menjadikan mereka termasuk golongan shalihin

 

Cinta Hajar kepada Allah diabadikan dalam bangunan berbentuk cekungan di samping Ka’bah. Disebut Hajar Ismail.  Cekungan itu melambangkan relung samudera hati yang paling dalam tanpa tepi.

 

Bangunan itu tidak menyatu dengan Ka’bah karena kemanunggalan cinta itu bukan arti fisik. Allah mustahil menyatu secara fisik dengan manusia karena Allah bukan mahluk dan Allah berbeda dengan mahluk untuk semua hal (muhalalfatu lil hawadis). Wahdatul wujud itu manunggalnya cinta.

 

Di antara Hajar Ismail dengan Ka’bah itu ada ruangan . Di situlah gelombang ekektronagnetik yang menyatukan. Yang tidak kelihatan itu sebenarnya ada. Cahaya Allah menyinari hari orang-orang yang beriman. Cahaya itu mesti tidak kelihatan tapi wujud.

 

Bacalah Quran Surah Kahfi pada hari Jumat, maka Allah akan bentangkan cahaya dari ujung kakimu sampai ke Ka’bah kemudian naik ke langit. Cahaya itu hanya bagi mereka yang meyakini.

 

Siapa yang mencintai Allah secara kaffah? Hajar

Apa saksi kecintaannya? Rela berkorban segalanya, termasuk nyawa sendiri.

Siapa yang dibalas cintanya oleh Allah? Hajar

Hajar siapa? Hajarnya Ismail. Ibundanya Ismail.

(Bukan Hajar anak Firaun atau Hajar budak kulit hitam yang jadi bahan polemik kalangan ahli sejarah. Polemik itu tidak relevan. Tapi memang manusia suka berbantah-bantah, dan suka sensasi. Allah tidak menentukan derajat manusia dari keturunan, ras, status sosial, suku, kebangsaan dsb. Tapi berdasar takwanya).

 

“Sungguh yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (Quran: Al Hujurat 13).

 

Dan Allah sudah menentukan Hajar adalah manusia mulia.  Dr Ali Shariati mengatakan, hanya Hajar yang jazadnya boleh dimakamkan di samping Ka’bah.

 

Demi cintanya kepada Allah, maka Ibrahim – Hajar – Ismail sepakat menyerahkan nyawa Ismalil sebagai syahid (saksi) kepada Allah.

Kapan? 10 Dzulhijah

Di mana? Mina

 

“Rabbi habli minas-shalihin (Ya Tuhan anugrahkan kepadaku (anak) yang termasuk orang yang saleh). (Quran: As-shaffat 100).

 

Rabbi a’lam (Tuhan lebih dan paling mengetahui)

 

Catatan penting: Jangan langsung like and share tulisan ini. Telitilah. Ini jaman disinformasi. Tidak jelas mana hoax mana info benar. Mana asli mana palsu. Monggo ngaji Quran surah Al Hujurat ayat 6. Peringatan Allah sangat jelas.

 

Anwar Hudijono, penulis tinggal di Sidoarjo. Dari berbagai sumber.

 

Sidoarjo, 26 Juli 2021